ISBN Bukan Tanda Penulis Profesional

ISBN (Internasional Standard Book Number) adalah sistem penomoran buku yang berlaku secara internasional dan berfungsi menjadi kode identifikasi buku. Kode ini pada awalnya sangat dibutuhkan dalam proses distribusi, pemasaran dan pengkatalogan buku. Ketika buku cetak pertama tersebar-luas di Eropa, para penerbit harus mencantumkan kode khas pada setiap judul buku untuk memudahkan pelacakan di toko-toko buku. Di sanalah ISBN lahir.

Di Indonesia, ISBN untuk terbitan cetak maupun digital dikeluarkan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia sebagai lembaga yang diautorisasi oleh Agensi ISBN Internasional yang berkedudukan di London, Inggris. Dalam perkembangannya sejak tahun 1986, Indonesia telah mendapatkan tiga kali pembaruan kode prefiks negara untuk ISBN, yaitu 979, 602, dan kini 623.

Tonton video perkembangan ISBN di Indonesia di sini.

Banyak kalangan penulis, akademisi maupun masyarakat umum beranggapan bahwa ISBN adalah kode yang menandakan bahwa sebuah buku adalah buku yang berkualitas dan ditulis oleh penulis yang memiliki kredibilitas. Ini salah besar. ISBN samasekali tidak terkait dengan kualitas sebuah buku, apalagi kredibilitas penulisnya. ISBN hanyalah sebuah kode penanda yang bisa kita anggap sebagai ‘nomor KTP’ sebuah buku. Layaknya setiap warga negara yang memiliki nomor KTP yang berbeda-beda, ISBN juga unik untuk setiap judul buku. Anda tidak bisa menentukan apakah seseorang adalah warga negara teladan, maling, pelaku kriminal atau pelaku KDRT dari nomor KTP-nya. Begitu juga, Anda tidak bisa menilai kualitas sebuah buku dari ada-tidaknya nomor ISBN di sampul belakangnya. Cukup jelas?

Mendewakan ISBN

Jadi, ISBN bukanlah sebuah tanda bahwa sebuah buku berkualitas. Meskipun ISBN menjadi salah satu unsur yang pasti ada tatkala sebuah buku berstatus ‘terbit’, ada beberapa syarat lain yang sebenarnya lebih bisa membedakan mana buku yang terbit dan yang tidak. Pertama, sebuah buku yang terbit berarti buku tersebut dapat diakses oleh khalayak umum, bukan kalangan terbatas. Karena itu, apabila sebuah buku terbit, buku tersebut harus ada di berbagai toko buku atau marketplace serta diperjualbelikan secara bebas. Kedua, buku yang terbit berarti bahwa buku tersebut selayaknya sudah melalui proses penerbitan yang secara umum terdiri atas seleksi manuskrip, penyuntingan (editing) baik substansi maupun ejaan, penataan letak (layout), pembuatan sampul, dan pendaftaran ISBN. Pada banyak penerbit besar, terdapat pula proses yang disebut market testing di mana naskah buku diujicobakan terlebih dahulu kepada calon pembaca. Semua proses ini membutuhkan waktu yang cukup lama.

Sejak munculnya penerbit-penerbit kecil (independent publishers) dan self-publishers gegara semakin mudahnya akses individu dengan pasar daring, proses penerbitan ini tidak selalu dijalankan sebagaimana mestinya. Dari temuan tim Deposit Perpusnas, ada ribuan judul buku yang diterbitkan oleh penerbit pemula terpapar plagiarisme, ditulis dengan ‘bahasa yang menyakitkan otak’, atau benar-benar asal jadi. Penulis-penulis tersebut kebanyakan dari akademisi yang menulis buku hanya demi nilai kum, atau penulis pemula yang ingin cepat melihat karyanya tampil sebagai buku. Kebanyakan masih berpikir bahwa dengan mendapatkan ISBN, buku mereka telah berstatus ‘terbit’. Padahal, proses inti dari sebuah penerbitan sesungguhnya bukan terletak pada ISBN.

Itulah sebabnya, mulai tahun 2019 lalu, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia terkena ‘banjir bandang’ permohonan ISBN. Jatah ISBN dari Agensi ISBN Internasional sebanyak satu juta nomor nyaris habis hanya dalam waktu empat tahun saja (2018-2022). Ini disebabkan karena banyak penulis, baik di kalangan umum maupun akademisi, yang beranggapan bahwa ISBN adalah nomor sakti yang menaikkan derajat karya tulis mereka. Buku ber-ISBN dan diterbitkan oleh penerbit anggota IKAPI masih menjadi syarat pokok sebuah buku yang diterima untuk penilaian kinerja akademik. Padahal, dari segi kebermanfaatan, buku-buku tersebut kebanyakan tidak dibaca dan tertimbun begitu saja di database segera setelah proses kenaikan pangkat berhasil.

Menghargai Proses Terbit

Proses paling esensial dalam penerbitan buku sesungguhnya terletak pada penulisan, penyuntingan dan penyebarluasan, bukan ISBN. Karena sebuah buku mengandung ilmu pengetahuan, inspirasi atau buah pemikiran penulis, sebuah buku hendaknya dipastikan kualitasnya sebelum dibaca publik. Kualitas sebuah buku menentukan sebaik apa kualitas pemikiran penulisnya. Kadang-kadang, penerbit pemula menerima naskah secara sembarangan tanpa proses penyuntingan dan pengecekan plagiarisme. Akibatnya, banyak kasus plagiator terungkap setelah buku tersebut tersebar-luas dan diprotes.

Setelah buku disunting, dirapikan dan dicetak, buku siap disebarkan kepada publik. Inilah sesungguhnya fungsi penerbit. Penerbit adalah badan legal yang memiliki koneksi dengan distributor, pasar, atau marketplace sehingga bisa membantu penulis menyebarluaskan karyanya. Penerbit tidak hanya bertugas memohon ISBN saja dan selesai. Justru, ISBN sesungguhnya berfungsi membantu baik penulis, penerbit maupun pembaca untuk melacak, menemukan, mengkategorikan, dan memantau status sebuah buku di pasaran.

Barangkali sudah saatnya penulis maupun penerbit di Indonesia lebih menghargai proses penerbitan daripada mendewakan ISBN. Jika proses penulisan dijalani dengan jujur dan komprehensif, kualitas sebuah buku akan menjadi lebih baik. Dengan kualitas yang lebih baik, para pembaca mendapatkan manfaat maksimal dan informasi yang benar. Masyarakat yang tercerahkan oleh para penulis yang berkompeten pastinya akan membuat kemajuan buat negeri ini.

Admin Nilacakra
Author: Admin Nilacakra

Penerbit dan layanan penulis di Bali.