Jika seseorang bisa menerbitkan sebuah buku, itu barangkali menjadi momen besar dan penting dalam capaian karir atau prestasi. Terlebih buat akademisi, menerbitkan buku masih menjadi prestise dan mampu melejitkan nama seseorang di kancah akademik.
Namun, apa yang menandakan sebuah buku telah terbit? Apakah menerbitkan sama dengan mencetak? Apakah ISBN menjadi penanda bahwa buku terbit? Semua pertanyaan itu masih rancu bahkan bagi para pembaca, akademisi atau pustakawan.
Mengacu pada etimologi, sebuah buku dinyatakan terbit sesungguhnya adalah ketika buku itu sampai ke tangan pembaca. Untuk sampai ke tangan pembaca, buku perlu melalui banyak proses. Anda tidak ingin membaca sebuah buku yang justru membuat Anda merasa bodoh karena isinya tidak jelas, bukan? Karena itu, sebelum sebuah buku sampai ke tangan pembaca, mesti ada proses seleksi, editing (penyuntingan), pembacaan pruf (proofreading), cetak biru, dan finalisasi.
Faktanya, semua proses itu biasanya dilakukan oleh lembaga atau perusahaan serius bernama penerbit. Jadi, penerbit adalah mereka yang bertugas memastikan buku-buku yang ‘lahir’ benar-benar memenuhi standar dan kebutuhan.
Belakangan, banyak muncul penerbit kecil yang kita kenal sebagai indie publishers. Perpusnas dan IKAPI mencatat ada lebih dari 1.500 penerbit di Indonesia pada 2020. Jumlah ini meningkat tiap tahun. Separuh dari jumlah tersebut adalah penerbit indie yang mencetak buku dalam jumlah terbatas dan memiliki permodalan kecil. Dengan hadirnya penerbit indie, mereka yang ingin menerbitkan buku menjadi lebih mudah karena tidak lagi bersaing dengan penulis-penulis terkenal di menerbit mayor.
ISBN bukan tanda buku itu terbit
Sayangnya, banyak penulis pemula yang berpikir bahwa terbitnya sebuah buku ditandai dengan ISBN. Tak hanya kalangan awam, bahkan lembaga setingkat kementerian masih memberlakukan ISBN sebagai standar terbitnya sebuah buku. Padahal, ISBN tidak menjamin kualitas sebuah buku atau kecendekiawanan penulisnya.
Karena itulah, mulai 2021 lalu, Perpusnas mengetatkan sistem pemberian ISBN terutama bagi penerbit-penerbit kecil. Hal ini terjadi karena banyak penerbit kecil yang menerbitkan buku asal-asalan, tanpa editing maupun proofreading yang layak. Akibatnya, banyak buku ‘sampah’ beredar di masyarakat.
Tak sampai penerbit indie, kini muncul pula self-publishing. Setiap orang kini bisa membuat bukunya sendiri, mencetaknya lewat jasa PoD dan menjualnya sendiri. Secara hukum, ini sah-sah saja. Tidak ada aturan yang menyatakan bahwa buku yang beredar harus memiliki ISBN.
Dengan maraknya penulis yang menerbitkan bukunya secara pribadi, terjadi shifting pada sistem perbukuan ke tingkat individual. Dulu, penulis tergantung pada penerbit untuk mempopulerkan karya-karya mereka. Penerbitlah yang membuat penulis jadi terkenal. Namun, kemajuan media sosial membuat segalanya berubah. Kini, penulis bisa mem-branding dirinya sendiri lewat media sosial (Wattpad atau Storial, misalnya). Justru sekarang, penerbitlah yang malah mengejar-ngejar penulis yang punya banyak fillowers, sebab dengan itu penjualan buku mereka pasti besar dan lancar. Dengan demikian, self-branding kini menjadi modal utama penulis. Dengan konsisten menulis, makin banyak orang akan mengenal siapa si penulis.
Lalu, apa fungsi penerbit?
Hadirnya self-publishers dan pesatnya perkembangan media sosial menimbulkan pertanyaan fundamental. Jika setiap orang bisa menulis, menata, mencetak dan menjual bukunya sendiri, lalu apa fungsi penerbit?
Ada beberapa poin yang bisa menjadi titik milestone perkembangan penerbit di masa depan. Pertama, di masa depan, penerbit memiliki fungsi penting memastikan buku yang beredar adalah buku-buku bermutu, sesuai jenjang pembaca, dan relevan; bukan asal-asalan. Jadi, penerbit berfungsi sebagai filter pengetahuan. Self-publishing umumnya tidak memiliki kontrol atas konten, sehingga pertanggungjawabannya secara keilmuan masih diragukan. Selain itu, kualitas konten self-publishing rata-rata adalah konten pelarian. Banyak orang masih belum bisa menulis dengan baik, tetapi bangga ketika bukunya cuma ber-ISBN.
Hal lainnya yang membuat penerbit bisa tetap eksis adalah karena penerbit menjadi agen atau duta keterampilan berbahasa masyarakat. Melalui penerbitlah tata bahasa yang baku dipertahankan, struktur kepenulisan yang baku diajegkan, dan tata naskah yang rapi dipertahankan.
Selain itu, penerbit bukan hanya sekadar money-oriented, tetapi education-oriented. Penerbit bertanggung jawab mencerdaskan bangsa, yang tidak bisa dilakukan secara individu melalui self-publishing yang seringkali tidak melalui proses editing dan proofreading. Dengan langkah ini, akan muncul dua kasta besar konten pengetahuan, yaitu konten yang reliabel dan yang tidak. Penerbit memiliki kewajiban dan hak untuk konten pengetahuan reliabel.
Yang baru-baru ini dibahas Perpusnas dan IKAPI adalah bahwa penerbit akan disertifikasi. Kelengkapan elemen penerbit seperti penata letak, penata bahasa, editor, proofreader, hingga marketer akan dinilai oleh lembaga yang absah, seperti Perpusnas atau IKAPI. Sertifikasi bertujuan menyeleksi penerbit (baik mayor maupun indie) yang benar-benar serius dan berkualitas, terutama dari segi kualitas output.
Di masa depan, ISBN tidak akan lagi jadi prestise, tetapi penerbit dan penulis sendirilah yang langsung menjadi prestise. Setiap penerbit yang terverifikasi oleh IKAPI dan Perpusnas otomatis menjadi penerbit yang memiliki tugas menjaga reliabilitas konten. Apalagi dengan kehadiran QRCBN yang semakin ramai digunakan, ISBN tidak lagi menjadi pilihan kecuali (mungkin) bagi para akademisi. Ke depan, dunia akademik barangkali akan mulai melirik potensi besar QRCBN dari sisi kepraktisan dan keluasan akses. Jadi, yang akan membuat suatu buku berprestise adalah penerbit dan penulisnya. Penulis harus berlomba-lomba memiliki self-branding yang kuat, dan penerbit bisa menggunakan branding penulis ini sebagai strategi marketing. Apabila self-branding penulis tinggi, di mana pun buku diterbitkan, entah ber-ISBN atau tidak, pembaca pasti mengejar.
Terakhir, akan berkembang teknologi pemantau jumlah buku. Setiap eksemplar buku cetak akan memiliki kode unik sehingga tidak bisa dicetak sembarangan. Dengan semakin berkurangnya jumlah buku cetak, peluang pengkodean buku per eksemplar semakin terbuka.
Dengan melihat beberapa milestones penting itu, eksistensi penerbit justru bisa lebih bermartabat di era teknologi informasi saat ini. Penerbit perlu benar-benar memperbaiki kualitas terbitan dan menjadi mata air kebaharuan pengetahuan yang memuaskan dahaga khalayak ramai. Dengan semakin baiknya mutu penerbit, akan ada banyak keahlianspesial yang hanya penerbit yang punya.