Menulis buku adalah gabungan antara intelektualitas, seni dan rasa. Intelektualitas berarti bahwa Anda menulis buku demi sumbangsih yang jujur pada dunia ilmu pengetahuan. Sementara itu, untuk membahasakan pengetahuan itu agar mudah dipahami orang awam, Anda perlu jiwa seni, atau jiwa kebahasaan yang kaya. Terakhir adalah rasa. Jika tatkala menulis Anda tidak merasa asyik, bagaimana Anda berharap pembaca Anda akan betah membaca tulisan Anda?
Kemampuan menulis adalah salah satu keterampilan khusus yang seharusnya dimiliki oleh seorang pendidik, utamanya akademisi (dosen) yang sebenarnya menjadi the sanctum of knowledge, sumber pembaharuan ilmu pengetahuan. Dosen pada hakikatnya adalah dagang ilmu. Jadi, menulis buku dan memproduksi ilmu pengetahuan sebenarnya adalah pekerjaan primer dosen. Sangat disayangkan, tentunya, apabila dosen hanya menulis demi kenaikan pangkat atau nilai kum, sementara kualitas tulisannya tidak lebih baik daripada tugas paper anak SMP. Parahnya lagi adalah ketika dosen ketahuan memplagiat tulisan orang lain, atau malah tulisannya sendiri.
Jenis-jenis Buku Ilmiah
Ada beberapa jenis buku ilmiah yang bisa ditulis dosen. Jika Anda menulis sebuah buku tanpa seri (jilid), membahas bidang ilmu yang Anda kuasai, dan berdasarkan kajian atau penelitian, maka Anda sedang menulis sebuah monograf. Singkatnya, sebuah monograf adalah buku tunggal tak berseri. Ada sedikit perbedaan definisi monograf antara ranah akademik dan ranah ilmu perpustakaan. Dalam ilmu perpustakaan, monograf adalah buku jenis apa saja yang tidak berjilid (tidak berseri). Sementara itu, dalam ranah akademik, sebuah monograf adalah buku ilmiah yang tidak berseri. Jadi, jika Anda menulis novel atau prosa naratif, ia bisa termasuk jenis monograf di perpustakaan, tetapi bukan dalam laporan BKD.
Ada pula buku referensi, si misterius yang kadang profesor pun tak bisa menjelaskan apa bedanya buku jenis ini dengan monograf. Baik monograf dan buku referensi sama-sama berdasarkan kajian atau penelitian limiah. Akan tetapi, sebuah buku referensi mengandung pembahasan yang lebih filosofis daripada monograf. Tataran sebuah buku referensi biasanya berada dalam level filsafat hingga epistemologi dan pendekatan keilmuan, sementara tataran topik monograf berada di bawahnya, mulai dari metodologi, strategi, fakta, temuan, data dan semacamnya. Jadi, apabila buku Anda berjudul “Etnopedagogi dalam Sastra” dan di dalamnya Anda membahas dasar-dasar ilmu etnopedagogi, definisi filosofis dan teori-teori dasar, maka itu dapat digolongkan ke dalam buku referensi. Begitu juga, jika Anda mengumpulkan berbagai penelitian sastra yang terkait dengan pendidikan berbasis kebudayaan, lalu mengulasnya secara lebih filosofis, maka Anda sedang menyusun sebuah buku referensi.
Di sisi lain, apabila Anda menulis buku dengan judul yang sama, tetapi di dalamnya Anda berkisah mengenai hasil penelitian Anda di sebuah penjara di mana narapidananya diterapi dengan membaca cerpen, maka Anda sedang menulis sebuah monograf. Dalam buku itu, Anda menulis tentang hasil penelitian di penjara itu dan apakah sastra berhasil mengubah asumsi para narapidana.
Jadi, perbedaan mendasar antara monograf dengan buku referensi terletak pada tataran pembahasannya. Ada banyak buku referensi yang berjudul Filsafat Ilmu, atau Hukum Agama, atau Pengantar Bisnis, tetapi pembahasannya bisa saja mencakup penelitian berbeda yang diulas secara lebih teoretis dan filosofis.
Sementara itu, ilmu perpustakaan punya definisi lain mengenai buku referensi. Yang tergolong buku referensi adalah kamus, kitab, ensiklopedi (Anda mungkin bisa mempertimbangkan untuk menulisnya), atlas dan sejenisnya.
Kalangan akademisi lain tentunya punya definisi berbeda mengenai monograf dan buku referensi. Hal ini sah-sah saja. Yang terpenting adalah, Anda tetap menulis dengan jujur dan bernas. Sumbangsih aktif Anda bagi dunia ilmu pengetahuan lebih penting daripada hanya sekadar membahas jenis-jenis buku.